Secara bahasa khauf berarti ‘takut’. Secara istilah khauf
adalah pengetahuan yang dimiliki seorang hamba di dalam hatinya tentang
kebesaran dan keagungan Allah serta kepedihan siksa-Nya. Khauf merupakan rasa
takut yang mencegah seseorang berbuat maksiat atau mendorongnya untuk taat. Kurang
khauf menyebabkan seseorang lalai dan berani bermaksiat, tetapi khauf
yang berlebihan akan menjadikannya pesimis dan mudah putus asa.
Rasa khauf akan muncul dengan sebab beberapa hal, di antaranya:
1. Pengetahuan seorang hamba akan pelanggaran-pelanggaran dan
dosa-dosanya serta kejelekan-kejelekannya
2. Pembenarannya akan ancaman Allah, bahwa Allah akan menyiapkan siksa
atas segala kemaksiatan
3. Mengetahui akan adanya kemungkinan penghalang antara dirinya dan
taubatnya.
Seorang hamba yang mengetahui bahwa jika Allah sudah menghancurkan
seluruh alam ini, tidak ada yang dapat mencegah-Nya, sehingga muncullah khauf
(takut). Saat seseorang mulai melakukan kezaliman kemudian ia mengingat ancaman
Allah akan balasan/azab yang kelak ditimpakan kepadanya, seketika itu muncul
rasa khauf sehingga ia pun meninggalkannya. Ia tidak sempat memikirkan
hal lain karena sibuk memusatkan perhatiannya kepada muroqobah (pengawasan)
Allah, muhasabah (perhitungan diri), dan mujahadah (penggemblengan
mental), sehingga tidak menyia-nyiakan umur untuk hal-hal yang tidak berguna
dan menahan pandangannya dari dosa. Keadaan orang yang diliputi rasa khouf seperti
berada di dalam rumah yang kebakaran, takut tertimpa atap penuh api, takut jasad
habis terbakar, dan takut mati.
Adapun raja` secara bahasa artinya harapan atau cita-cita.
Menurut istilah ialah bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di kemudian hari.
Raja’ merupakan ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak boleh
ada kecuali kepada Allah SWT. Raja` juga bisa dimaknai sebagai
berprasangka baik kepada Allah karena mengetahui luasnya rahmat dan kasih
sayang-Nya.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah membagi raja` dalam 3 bagian. Dua bagian
termasuk termasuk raja` yang terpuji pelakunya sedangkan satu lainnya
adalah raja` yang tercela. Yaitu:
1. Seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah di atas
cahaya Allah, ia senantiasa mengharap pahala-Nya
2. Seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa
mengharap ampunan Allah, kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya.
3. Adapun yang menjadikan pelakunya tercela ialah seseorang yang
terus-menerus dalam kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah tanpa
dibarengi amalan. Raja` yang seperti ini hanyalah angan-angan
belaka, sebuah harapan yang dusta.
Allah Subhanallahu Wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah: 218)
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam
(mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami
dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami.”
(QS. Al-Anbiya’ [21]: 90)
Namun, rasa takut (khauf) tidak boleh menyebabkan seseorang
berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah Ta’ala. Selama dia bertaubat dengan
benar dari dosa-dosanya maka dia yakin bahwa Allah Ta’ala akan mengampuni
dosa-dosanya. Misalnya, saat melaksanakan salat lima waktu kita harus takut
atau cemas, jangan-jangan salat lima waktu kita tidak diterima. Akan tetapi, pada
waktu yang sama kita juga harus memiliki raja’, berharap kepada Allah
semoga Allah menerima salat lima waktu kita.
Misalnya lagi, orang yang takut salatnya tidak diterima oleh Allah pada
akhirnya membuat dia tidak semangat salat. Dia akan berpikir, salatnya tidak
akan diterima, jadi buat apa salat. Hal ini merupakan keadaan orang yang putus
asa dari rahmat Allah. Akhirnya, dia tidak mau bergerak, kemudian benar-benar
gagal.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddinnya mengumpamakan orang yang
memiliki Raja’ (harapan) ini seperti petani. Jika ada orang menanam benih di
tanah yang bagus, tanahnya berpotensi untuk ditumbuhi tanaman. Lalu petani itu
menyirami tanamannya dan menyingkirkan hama dan gulma. Lalu, dia berharap hasil
panennya melimpah. Maka dialah pengharap yang benar.
Ada pula petani yang menanam benih di tanah yang bagus tetapi tidak
disiram, dia hanya menunggu hujan padahal pada waktu itu bukan musim hujan. Dia
juga tidak menyingkirkan penyakit-penyakit tanaman. Lalu, dia berharap panennya
melimpah. Maka, orang tersebut termasuk pengharap yang bodoh karena panjang
angan-angan.
Artinya, orang yang berharap dengan benar itu tidak hanya berharap. Akan
tetapi, juga berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Jika tidak ada usaha,
maka harapannya sia-sia.
Imam Al-Ghazali mengutip sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “Orang bodoh
adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berharap kepada Allah agar
mendapatkan surga.”
Khauf mendorong seseorang untuk bekerja dan beribadah dengan ihsan,
sekaligus menundukkan nafsunya dari kecenderungan terhadap dunia.
Ah, betapa sering kita melalaikan salat, menunda-nunda salat, padahal
Allah SWT telah berfirman, “Celakalah orang yang shalat, yaitu orang yang lalai
terhadap salatnya…” (Al-Maun: 4-5) Mungkin kita sering kali membanggakan amalan
kita, menyebut-nyebutnya, padahal sungguh Allah membenci perbuatan sombong dan
riya. “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali diniatkan ikhlas
kepada-Nya dan mengharap wajah-Nya.” (HR. Abu Daud).
Abu Ali ar-Rudbary berkomentar, “Khauf dan raja’ adalah seperti sepasang
sayap burung. Manakala kedua belah sayap itu seimbang, si burung pun akan
terbang dengan sempurna dan seimbang. Keduanya akan mengantarkan kita pada
sikap waspada sekaligus penuh harap, waspada dari api neraka dan berharap masuk
surga.
Abdul Qasim Al-Hakim bertutur, “Siapa yang takut terhadap sesuatu, ia
akan lari darinya. Tetapi siapa yang takut kepada Allah ia justru lari
mendekati-Nya.” Subhanallah, rasa takut
kepada Allah tidak akan membuat kita jauh dari Allah, tapi kita justru semakin
dekat kepada Allah.
Dalam sebuah hadis qudsi Rasulullah Saw bersabda,”Allah Ta’ala berfirman,
“Aku sesuai dengan keyakinan hamba-Ku kepada-Ku. Aku juga bersamanya jika ia
menyebut-Ku. Jika ia menyebutku dalam
dirinya. Akupun akan menyebutnya dalam diri-Ku. Jika ia menyebut-Ku di suatu
tempat, maka Aku menyebutnya di tempat yang lebih baik darinya. Jika ia
mendekat kepada-Ku satu jengkal, Aku akan mendekat kepada-Nya satu lengan. Jika
ia mendekat kepada-Ku satu lengan, aku akan mendekat kepadanya satu depa. Dan
jika ia mendatangiku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan
berjalan cepat.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Imam Ahmad)
Duhai Rabb pemilik seluruh alam, Duhai yang Maha Menyaksikan, Yang Maha Mengetahui segala isi hati, sungguh kami menyadari betapa banyak kesalahan, aib, dosa, dan perbuatan maksiat kami kepada Engkau, Kami telah berbuat zalim dan aniaya terhadap diri kami, sementara kebaikan, amal shalih, dan ketaatan kami teramat sedikit.
Duhai Rabb yang Maha Pengampun, Maha penerima taubat, ampunilah kami,
terimalah taubat kami, sungguh kami takut dan tak sanggup akan murka, siksa dan
azab-Mu yang sangat keras. Duhai Rabb yang menguasai setiap hati, hujamkanlah
rasa khauf ke dalam hati kami, curahkanlah rahmat dan petunjuk-Mu yang
lurus kepada kami, sehingga kami selalu dalam ketaatan kepada-Mu, istiqamah di
jalan-Mu, hingga kelak saat menghadap-Mu kami dalam keadaan khusnul khatimah
dan Engkau ridha terhadap kami. Wallahu a’lam.
Referensi
Faridh, Ahmad. 1996. Pembersih Jiwa. Bandung: Penerbit Pustaka.
https://www.hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2011/04/26/3650/antara-khauf-dan-raja-manakah-yang-kita-pilih.html
diakses pada 4 November 2020 pukul 22.56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar