Rabu, 27 Oktober 2021

BELAJAR MERDEKA DARI KI HAJAR DEWANTARA DENGAN TIDAK MELUPAKAN JATI DIRI BANGSA

 

Foto: http://erlianaprastika.blogs.uny.ac.id



Dahulu, begitu saya mendengar nama Ki Hajar Dewantara, yang terbayang adalah patrap guru atau tingkah laku pendidik yang menjadi anutan murid-murid dan masyarakat. Perilaku pendidik dalam mendidik murid atau anak bangsa menjadi pegangan dan modal utama yang dikenal dengan istilah ing ngarsa sung tulada (di depan memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita), dan tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya). Hal tersebut dapat saya maklumi bahwa penerapan patrap guru di semua jenjang pendidikan merupakan wujud ketahanan budaya terhadap sikap pendidik dalam era pendidikan kolonial. Ki Hajar Dewantara memang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan dalam kesehariannya. Terbukti, dalam pertemuan Selasa Kliwon yang rutin dilaksanakannya telah menghasilkan ide cemerlang untuk mendirikan Taman Siswa.

Sekarang, saya mengetahui bahwa tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah untuk menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa dasar pendidikan anak berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan sifat dan bentuk lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan isi dan irama. Artinya, meskipun setiap anak sudah membawa sifatnya masing-masing, tetapi pendidik tetap dapat menuntun peserta didik. 

Selain itu, ada prinsip Trikon yang menurut KHD dapat dikembangkan, yaitu kontinuitas, konvergen, dan konsentris. Tanpa kontinuitas, tujuan pembelajaran hanya berlangsung salam jangka pendek, dan itu tidak menjamin keberhasilan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran yang semestinya. Kegiatan yang dapat saya lakukan agar proses pembelajaran yang mencerminkan pemikiran KHD dapat terwujud adalah menerapkan merdeka belajar yang berorientasi pada siswa atau peserta didik melalui pendekatan pendidikan yang holistik. Kegiatan pembelajaran bermula dari membuat perencanaan pembelajaran yang menarik, tidak monoton, dan memberikan variasi model pembelajaran. Saat menghadapi kendala, saya tidak boleh patah semangat, perencanaan yang saya buat di awal pembelajaran harus terlaksana dengan terus-menerus. Dengan perencanaan tersebut maka suatu tahap pembelajaran dilanjutkan oleh tahap berikutnya dengan melalui evaluasi dan perbaikan yang tepat. Selanjutnya, dalam proses pembelajaran peserta didik tetap dapat mengalami kegembiraan dan kebahagiaan dalam proses pembelajaran yang merdeka belajar. Oleh karena itu, saya perlu menerapkan prinsip kontinuitas.

Hal lain yang perlu saya perhatikan, pengembangan materi yang saya akan sampaikan nanti kepada peserta didik dapat diambil dari berbagai sumber di luar, bahkan dari praktik pendidikan di luar negeri. Seperti yang dilakukan oleh Ki Hadjar ketika mempelajari berbagai praktik pendidikan dunia, misalnya Maria Montessori, Froebel dan Rabindranath Tagore. Praktik-praktik tesebut dapat saya pelajari untuk nantinya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik di kelas. Saat ini teknologi informasi telah sedemikian canggih sehingga guru atau kepala sekolah dapat mempelajari berbagai kemajuan pendidikan dari mana saja dan kapan saja. Bisa dari artikel di mesin pencarian Google, Youtube, dan sebagainya. Dengan demikian, saya mengambil prinsip kedua dari Ki Hajar Dewantara, yaitu konvergen.

Sementara itu, pengembangan pendidikan yang saya lakukan harus tetap berdasarkan kepribadian budaya bangsa sendiri. Tujuan utama pendidikan adalah menuntun tumbuh kembang anak secara maksimal sesuai dengan karakter kebudayaannya sendiri. Oleh karena itu, meskipun Ki Hadjar menganjurkan kita untuk mempelajari kemajuan bangsa lain, tetapi tetap semua itu ditempatkan secara konsentris dengan karakter budaya kita sebagai pusatnya. Penyesuaian dengan budaya bangsa sendiri ini sesuai dengan prinsip ketiga, yaitu konsentris. Kombinasi pendidikan barat yang modern dan ilmiah dengan pendidikan keindonesiaan (kearifan lokal) menjadi kunci lahirnya generasi baru yang cerdas, mandiri dan berkepribadian di bidang budaya. Sistem pendidikan yang didasarkan pada jati diri bangsa melahirkan bangsa yang mandiri dan terlepas dari sistem pendidikan yang berorientasi pada kepentingan pasar.

Misalnya, ketika saya melakukan pembelajaran drama, saya bisa mengambil teori drama dari barat, lalu mengembangkannya untuk mendramatisasi cerita rakyat Indonesia. Peserta didik yang sedang belajar drama dapat sekaligus belajar mengambil pelajaran dari cerita rakyat Indonesia yang diperagakan dalam bentuk drama. Peserta didik tidak kehilangan jati dirinya dengan mempelajari teknik bermain drama dan mengambil nilai-nilai dalam cerita rakyat, misalnya membandingkan nilai dalam cerita rakyat Sangkuriang dari Jawa Barat dan nilai dalam cerita rakyat Malin Kundang dari Sumatra Barat. Bahkan, bisa saja peserta didik diminta membaca kemudian membandingkan nilai cerita rakyat Tukang Kayu dan Bidadari dari Korea Selatan dan nilai dalam cerita rakyat Joko Tingkir dari Jawa Timur, Sigantang dan Malin Kundang, Nashiruddin Hoja dan Kabayan, yang memiliki kemiripan tokoh dan alurnya. Saya dapat membebaskan peserta didik baik dalam menampilkan dramanya maupun dalam memilih cerita rakyat yang akan mereka bandingkan nilai-nilainya. Selain itu, mereka (yang pembelajaran daring) diizinkan untuk bebas memilih cara pengumpulan tugasnya, bisa dengan video atau link Youtube, sedangkan untuk yang pertemuan luring boleh memilih tempat pementasan dramanya, boleh di halaman atau di kelas. 


Rosiana Febrianti, S.Pd.

Calon Guru Penggerak Angkatan 4 dari SMAS Al Kahfi, Kabupaten Bogor