Jumat, 31 Juli 2020

TENANG BERSAMA ALLAH



Tsiqoh (rasa tenang karena percaya) kepada Allah itu seperti bayi yang dilempar oleh ibunya ke atas tetapi ia tetap tertawa, karena ia yakin sang ibu pasti akan mendekapnya dan tidak membiarkan ia jatuh terpelanting.

Lihatlah bagaimana Allah menguji Ibunda Nabi Musa, ketika ia takut anaknya akan dibunuh oleh Firaun, Allah berfirman kepadanya,

“Apabila kamu kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah ia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu dan akan menjadikan sebagai salah seorang dari para rasul (Al-Qashas 28:7)

Ibu manapun di dunia ini tidak akan tega menghanyutkan buah hatinya ke sungai kalau bukan karena tenang dengan perintah Allah, begitu pula Ibu Musa tidak akan melakukannya.

Namun, Allah mengembalikannya, ketika pihak Istana Firaun mencari ibu susu untuk bayi Musa, Musa tidak mau menyusu kecuali dengan ibu kandungnya.

Contoh lainnya adalah ketika Nabi Ibrahim meninggalkan istrinya, Bunda Hajar dan bayinya  di sebuah padang pasir yang tandus. Namun ketika ia mendengar dari suaminya bahwa Allah yang memerintahkan maka ia pun mencoba untuk menenangkan perasaannya.

Begitu juga dengan Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya Ismail, walau berat ia rasakan, tetap ia lakukan dan ia tsiqoh bahwa apa yang Allah perintahkan pasti menyimpan jutaan hikmah di dalamnya. Saat nyaris mata pisau itu menyentuh leher Ismail, Allah ganti dengan domba. Ternyata, Allah ingin menguji sejauh mana kecintaan Ibrahim kepada-Nya dan itulah yang disebut dengan tsiqoh.

Maka, tsiqohlah dengan semua perintah dan larangan Allah walau kita belum bisa memahaminya, karena semua perintahnya akan berbuah manfaat.

Selasa, 21 Juli 2020

Sapardi dalam Kenangan, Sebuah Obituari


Semalam Bu Suzi mengundangku mengikuti Obituari Sapardi Djoko Damono melalui zoom yang dipimpin Pak Arcana dalam rangka mengenang sosok Sapardi Djoko Damono, penyair kondang. Penyair yang terkenal dengan larik "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana" itu pun menutup mata karena banyaknya lendir dalam paru-parunya. Batuk yang parah sudah dirasakan sejak beberapa hari sebelumnya dan selama itulah beliau dirawat di rumah sakit. Dalam kondisi yang payah, beliau masih sempat melontarkan humor, "Aku tidak mau dikuburkan di Depok karena pemakaman di sana sudah padat. Aku tidak mau kuburanku diinjak-injak orang." Akhirnya, beliau dimakamkan di daerah yang disebutkannya sebelum wafat, masih pemakaman keluarga. Meskipun gejalanya mirip, beliau wafat bukan karena virus korona karena jenazahnya tidak diperlakukan seperti pasien covid-19.

Beliau selalu berpikir dalam bahasa Jawa kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Itulah sebabnya, kata-kata yang dituangkannya menjadi larik-larik puisi terasa sederhana. Dan yang paling nyambung (paham) dengannya adalah Putu Wijaya.

Alih-alih dikatakan sebagai penyair tanpa kaidah, beliau mengajarkan kepada kita agar menulis puisi dengan gaya sendiri. Dari testimoni orang yang pernah menjadi mahasiswanya, beliau dikatakan bukanlah sosok yang ingin dilihat, "Ini saya, seorang penyair, Sapardi." Akan tetapi, beliau begitu bersahaja, memotivasi mahasiswanya agar menjadi diri sendiri.