Jumat, 07 April 2023

PENGALAMAN JATUH DARI MOTOR

Jumat, 2 September 2022, saya jatuh dari motor. Salah saya sendiri, mengendarai motor dengan kecepatan tinggi karena berpikir terlambat hadir rapat. Di depan saya ada mobil dapur. Sepenglihatan saya yang rabun, mobil itu berhenti di sebelah kiri berhadapan dengan saya. Saya mengendari motor juga di sebelah kiri. Karena panik, rem mendadak, ban motor botak, jalan licin karena hujan sedang deras-derasnya, akhirnya saya membuang stang motor ke kiri dan tubuh pun rubuh tertelungkup di atas jalan bersemen tepat di depan lorong kantor. Menurut saksi mata, konon staf sekretariat mendengar ada dua bunyi "duk" atau benturan keras, di antaranya bunyi motor jatuh dan bunyi tubuh saya menghantam jalan. Alhasil, tulang rahang depan sebelah kanan dan tulang bahu kanan saya bergeser. Sopir mobil dapur turun dan bertanya, "Ibu bisa bangun?" Sambil meringis kesakitan, saya menjawab, "Gak bisa." Tubuh terasa kaku semua dengan posisi masih tertelungkup. Kemudian sopir mobil dapur membantu saya untuk duduk. Saya pun menyelonjorkan kedua kaki. Semua mata menatap iba. Santri putra yang sedang bermain bulu tangkis, staf kantor, dan entah siapa lagi yang hanya diam memandangi saya. Saya paham, mungkin mau menolong saya tetapi bingung karena bukan mahrom. Santri putra membantu mendirikan motor saja. Saya hanya bisa tertawa menahan sakit sekaligus rasa malu. Sungguh sakitnya badan dan malu sangat menghantam saya siang itu. Akhirnya, saya memutuskan untuk pulang, tidak jadi rapat. Pulang dengan luka lebam dan memar. PENGOBATAN APA YANG SAYA LAKUKAN? Dengan ditemani suami, saya berobat ke salah satu rumah sakit di Bogor. Prosedur berbelit, dari kasir antre ke dokter spesialis tulang karena khawatir saya patah tulang. Kemudian saya antre di depan ruang periksa. Hanya saya yang paling muda, banyak pasien lansia. Malu, tapi mau bagaimana lagi. Di sana saya mengobrol dengan salah satu pasien, katanya dokter ini favorit ibu-ibu (nenek-nenek sih tepatnya) yang menjadi pasiennya. Dokter hanya menyapa, ada keluhan apa, lalu memberikan obat racikan. Pasiennya tahu, mereka tidak bisa sembuh karena penyakit tua, tetapi tetap berobat hanya untuk mengurangi keluhan. Kalau tidak diberi resep obat racikan penghilang nyeri atau suntikan antiradang. Ternyata benar kata ibu yang sudah punya cucu itu, dokter itu tersenyum ramah pada saya sambil menanyakan keluhan saya. Dokter menyuruh saya ronsen dulu, maka dari lantai 3 saya harus ke lantai 1 untuk daftar ronsen, lalu saya bisa ke ruang ronsen. Antre lagi sebentar dan pembayaran di kasir di luar deposit 500ribu di awal pendaftaran. Saya pun ronsen. Setelah menunggu beberapa saat, hasil ronsen keluar dan saya bawa ke ruang praktik dokter tadi. Singkat cerita karena selalu antre, saya dinyatakan tidak patah tulang, hanya kemungkinan tulang bergeser. Maka, saya diberi 3 jenis obat, yaitu obat nyeri, obat lambung karena saya punya penyakit maag, dan suplemen. Selain itu, saya disarankan memakai penyangga tangan (gendongan). Ratusan ribu keluar, cuma dikasih obat penahan nyeri, geruti saya. Saya ditegur suami untuk senantiasa bersabar. Dua pekan berlalu, obat pun habis. Nyeri tak kunjung hilang. Obat habis, ya tetap nyeri. Sudah sebulan lebih, tetapi lebam masih awet, meskipun memudar berangsur-angsur. Yang mengganjal adalah tangan kanan saya tidak bisa diangkat atau digerakkan. Tak puas dengan pengobatan dokter, saya pun pergi ke tukang urut wanita di Cimande. Tepatnya di samping gang masjid, dekat Alfamaret. Sungguh, terasa sangat menyiksa! Sakitnya luar biasa. Saya diminta membayar 100ribu untuk jasa urut dan 50ribu untuk minyak urutnya yang baunya khas tetapi kalau dipakai nyaman banget. Saya diajari gerakan jari merayap di dinding oleh tukang urut. Bukan main, seharusnya, dokter itu lebih awal menyarankan saya ke fisioterapi untuk gerakan finger walking dong, alih-alih hanya memberikan obat nyeri. Ala kulli haal, saya bersyukur, asal rutin, tangan kanan saya insya Allah bisa digerakkan lagi. Paling tersiksa saat saya istinja, karena masih pakai gayung. Untuk mengangkat gayung rasanya berat sekali, air di gayung sampai tumpah. Rasanya saya tak berguna, nyaris putus asa meski sudah diurut dua kali. Tukang urut menyarankan jangan tidur miring ke kanan. Ini berat dilakukan karena saya terbiasa tidur miring kanan. Sampai sekarang rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk itu masih ada (trauma). Di rumah saya masih melatih tangan kanan saya untuk diangkat dan diturunkan secara berulang. Alhamdulillah sekarang saya sudah bisa menggoreng lagi dan mengendari motor lagi. Namun setelah kejadian itu, tangan kanan saya mudah merasa lelah, harus diistirahatkan lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar