Jumat, 03 April 2020

PENGOMEL


Aku sadar bahwa aku kalau mengomel itu mesti meluap-luap. Tanpa sadar mungkin kata-kataku menyakiti buah hati baik anak biologis maupun anak ideologis atau murid-muridku. Walau marahku cuma 5 menit, tetap saja itu berbahaya bagi keseimbangan psikologisku dan psikologis orang yang kuomeli.

Beberapa hari ini aku mengikuti sesi kulwap dengan Komunitas Psikolog Peduli yang mengajarkan teknik relaksasi. Kalau mau marah, tarik napas dulu. Lebih baik kujelaskan dulu salahnya apa daripada keburu mengomel tidak jelas.

Oh, ternyata baru kutahu pola asuh masa kecil memengaruhi bagaimana aku bersikap. Mama dulu mengomel saat capek mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian sementara anak-anaknya asik bermain. Aku tidak ingin seperti itu, tetapi alam bawah sadarku menyuruhku mengomel. Perasaan mama saat itu berimbas kepadaku.

Seharusnya kudekati anakku, kutatap matanya, dan bilang baik-baik, "Bantuin bunda nyapu, dong!" Aku sadar mengomel akan menguras banyak energiku, tetapi sehabis mengomel aku sedikit lega. Lalu bagaimana dong?

Rasulullah mengajarkan kalau marahnya sambil berdiri ya sebaiknya duduk. Kalau sudah duduk masih marah, berbaring. Tarik napas, istigfar.

Kupakai teknik 4-7-8. Tarik napas dalam selama 4 hitungan. Lalu tahan di diagframa 7 hitungan, kemudian keluarkan napas perlahan sampai hitungan ke-8. Ulangi terus sampai relaks. Anehnya, setelah mempraktikkan ini mataku mengantuk sekali. Baiklah, ternyata tubuhku lelah dan hanya butuh tidur sebagai obatnya.

"Dhil, kalo ibarat benda, bunda kayak apa?"
"Kayak antivirus yang jagain Fadhil dari bug," jawab anak kelas 3 SD itu sambil senyam-senyum.

Terserahmu, lah. Padahal, kemarin kamu bilang adonan cilok di tanganmu selembut hati bunda. Eh, tapi emang mukaku mirip cilok, ya?

#nulisbarengstiletto
#nulisbarenghari3


Tidak ada komentar:

Posting Komentar