Kamis, 02 April 2020

PRIMADONA

gambar hanya sebagai ilustrasi


Sebutlah namanya Primadona. Ia seorang wanita yang merasa kurang mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Padahal, kedua orang tuanya masih lengkap dan saling mencintai, tidak ada pelakor atau KDRT, mertua yang rese juga tidak ada. Namun, ayahnya memiliki sifat perfeksionis, pemalas, tidak ingin disalahkan, dan bukan pendengar yang baik. Lain halnya dengan ibu, wanita yang di matanya terlihat rajin, lemah lembut, dan baik hati.

Dulu ayahnya pernah menjadi pengangguran, sedangkan ibunya memiliki pekerjaan tetap. Mungkin karena ayahnya stres, sisi negatif sang ayah muncul. Setiap harinya ia menghindari ayahnya karena merasa khawatir disalahkan. Ayahnya mudah sekali marah. Untuk hal yang sangat sepele, misalnya saat ia sedang menyapu rumah, lalu si anak bingung memilih yang mana. Sampah yang tadi disapunya mau diangkat pakai pengki lalu dibuang ke tempat sampah atau langsung saja dibuang ke halaman. Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya, “Ini sampahnya mau dibuang ke mana, Yah?”
Namun, ayahnya menjawab, “Ya, terserahlah! Gitu aja nggak bisa mikir!”

Pernah pada suatu hari, ia terlambat pulang dari sekolah karena harus mengerjakan tugas di warnet. Saat itu ia lupa izin ke ayahnya. Lalu, tiba-tiba saja ayahnya mengirimkan sebuah pesan singkat, “Dasar anak preman pasar! Ke mana kamu, jam segini belum pulang?”

Ia tesentak, mengapa ayahnya harus mengatakan hal yang menyakitkan hati? Pikirnya, apa aku salah telah lahir ke dunia ini? Bahkan, dalam pilihan hidup pun, ayah selalu memaksa kehendak padanya. Misalnya, sang ayah lebih suka ia memilih jurusan olahraga, sedangkan hati kecilnya meronta ingin masuk jurusan manajemen. Akhirnya, ia harus mengikuti keinginan sang ayah. Ia menyadari, karena perlakuan ayahnya, ia tumbuh menjadi orang yang mudah iba terhadap orang lain. Ia selalu menghargai orang lain dengan berusaha menjadi pendengar yang baik. Namun di sisi lain, ia juga merasa kurang kasih sayang ayah. Sebesar apa pun pengorbanan ayahnya menjadi tidak terlihat di matanya. Sebesar apa pun cintanya untuknya, ia tidak bisa merasakannya.

Ia pun mencari perhatian di luar rumah. Di luar rumah ia menemukan kesenangan karena menjadi pusat perhatian banyak laki-laki. Saking senangnya mendapat perhatian, ia sampai rela melepas “keperawanan” saat SMA.

Sifat negatif lain yang dimilikinya akibat pola asuh ayah, perangainya pun menjadi mirip persis seperti ayahnya, pemarah, pemikir, mudah tersinggung, mudah bersangka buruk, dan tidak sabar.

Ketika awal menikah, ia masih belum menyadari sifat buruknya. Begitu punya anak, ia stres walaupun tidak sampai tahap PPD (Post-partum depression). Namun, ia pernah membekap mulut balitanya karena menangis terus, mengomeli, bahkan kerap menampar anaknya yang masih balita. Itu sudah terjadi.

Terhadap suami pun, ia sering ngomel. Namun, dia sadar akan kondisi saya. Dia satu-satunya orang yang bisa mengatasi sifat saya, selain ibu dan adik saya. Setiap hari ia selalu was-was, tidak tenang. Takut salah, takut dimarahi, takut dikomentari. Hingga akhirnya ia bertanya, kenapa saya begini?

Jawabannya, ternyata karena ia takut. Kalau ia tidak membereskan rumah dengan sempurna, akan ada yang membentaknya. Bayangan ayahnya muncul seketika. Ia takut, kalau anak-anak saya berisik, ia akan diceramahi “Ngapain aja, sih, dari tadi?”

Ia takut, kalau tidak bangun pagi, akan ada yang ngedumel. Lalu ia sadar, ayahnya tidak ada di sini. Ayah di rumahnya. Yang ada bersamanya hanya suami dan anak-anak. Mereka benar-benar terima saya apa adanya.

Ia akhirnya memberanikan diri untuk bicara pada ibunya. Kemudian, sang ibu memintanya untuk memaafkan ayah sambil berkata, “Ayahmu bisa keras seperti ini karena ia juga menerima didikan yang keras dari nenek. Ibu berharap kamu bisa memaafkan ayah. Ibu berharap agar lingkaran buruk ini berakhir di kamu saja.”

Setelah obrolan itu ia sadar bahwa ayah sebenarnya sayang terhadap anak-anaknya. Namun, cara yang dilakukan ayahnya salah. Benar-benar salah. Ayahnya hanya berharap ia bisa bahagia dan tidak sengsara. Selama ini ayah keras, hanya karena ia takut anak anaknya menjadi orang yang gagal dalam hidupnya. Ia berharap bisa sembuh dari luka pengasuhan ini atau paling tidak, sifat buruknya berkurang. Ia tidak ingin lingkaran buruk ini berlanjut ke anak-anaknya. STOP MULAI SEKARANG!
Diceritakan kembali oleh Rosianafe 

Dari kisah ini pesan untuk para ibu, jika Anda memiliki anak laki-laki, tolong didiklah dengan lembut dan penuh kasih sayang. Tunjukkan padanya, kalau amarah bukanlah jalan keluar. Untuk para ayah, luangkanlah waktu untuk anak perempuanmu. Buatlah ia bahagia tanpa bentakan, omongan tajam, apalagi hinaan. Jangan biarkan anak perempuanmu malah mencari perhatian dari banyak lelaki di luar sana.

Ini adalah cerita keempat dari rangkaian kisah luka pengasuhan yang pernah kudengar dari sahabatku yang mengikuti pelatihan konseling. Semoga bermanfaat.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar