![]() |
gambar hanya sebagai ilustrasi |
Sebutlah namanya Primadona. Ia
seorang wanita yang merasa kurang mendapatkan kasih sayang dari ayahnya.
Padahal, kedua orang tuanya masih lengkap dan saling mencintai, tidak ada
pelakor atau KDRT, mertua yang rese juga tidak ada. Namun, ayahnya memiliki
sifat perfeksionis, pemalas, tidak ingin disalahkan, dan bukan pendengar yang
baik. Lain halnya dengan ibu, wanita yang di matanya terlihat rajin, lemah lembut,
dan baik hati.
Dulu ayahnya pernah menjadi
pengangguran, sedangkan ibunya memiliki pekerjaan tetap. Mungkin karena ayahnya
stres, sisi negatif sang ayah muncul. Setiap harinya ia menghindari ayahnya
karena merasa khawatir disalahkan. Ayahnya mudah sekali marah. Untuk hal yang
sangat sepele, misalnya saat ia sedang menyapu rumah, lalu si anak bingung
memilih yang mana. Sampah yang tadi disapunya mau diangkat pakai pengki lalu dibuang
ke tempat sampah atau langsung saja dibuang ke halaman. Akhirnya ia
memberanikan diri untuk bertanya, “Ini sampahnya mau dibuang ke mana, Yah?”
Namun, ayahnya menjawab, “Ya,
terserahlah! Gitu aja nggak bisa mikir!”
Pernah pada suatu hari, ia terlambat
pulang dari sekolah karena harus mengerjakan tugas di warnet. Saat itu ia lupa
izin ke ayahnya. Lalu, tiba-tiba saja ayahnya mengirimkan sebuah pesan singkat,
“Dasar anak preman pasar! Ke mana kamu, jam segini belum pulang?”
Ia tesentak, mengapa ayahnya
harus mengatakan hal yang menyakitkan hati? Pikirnya, apa aku salah telah lahir
ke dunia ini? Bahkan, dalam pilihan hidup pun, ayah selalu memaksa kehendak padanya. Misalnya, sang ayah lebih suka ia memilih
jurusan olahraga, sedangkan hati kecilnya meronta ingin masuk jurusan
manajemen. Akhirnya, ia harus mengikuti keinginan sang ayah. Ia menyadari, karena perlakuan
ayahnya, ia tumbuh menjadi orang yang mudah iba terhadap orang lain. Ia selalu
menghargai orang lain dengan berusaha menjadi pendengar yang baik. Namun di
sisi lain, ia juga merasa kurang kasih sayang ayah. Sebesar apa pun pengorbanan
ayahnya menjadi tidak terlihat di matanya. Sebesar apa pun cintanya untuknya,
ia tidak bisa merasakannya.
Ia pun mencari perhatian di luar
rumah. Di luar rumah ia menemukan kesenangan karena menjadi pusat perhatian banyak
laki-laki. Saking senangnya mendapat perhatian, ia sampai rela melepas “keperawanan”
saat SMA.
Sifat negatif lain yang
dimilikinya akibat pola asuh ayah, perangainya pun menjadi mirip persis seperti
ayahnya, pemarah, pemikir, mudah tersinggung, mudah bersangka buruk, dan tidak
sabar.
Ketika awal menikah, ia masih
belum menyadari sifat buruknya. Begitu punya anak, ia stres walaupun tidak
sampai tahap PPD (Post-partum depression). Namun, ia pernah membekap mulut
balitanya karena menangis terus, mengomeli, bahkan kerap menampar anaknya yang
masih balita. Itu sudah terjadi.
Terhadap suami pun, ia sering
ngomel. Namun, dia sadar akan kondisi saya. Dia satu-satunya orang yang bisa
mengatasi sifat saya, selain ibu dan adik saya. Setiap hari ia selalu was-was,
tidak tenang. Takut salah, takut dimarahi, takut dikomentari. Hingga akhirnya
ia bertanya, kenapa saya begini?
Jawabannya, ternyata karena ia
takut. Kalau ia tidak membereskan rumah dengan sempurna, akan ada yang
membentaknya. Bayangan ayahnya muncul seketika. Ia takut, kalau anak-anak saya
berisik, ia akan diceramahi “Ngapain aja, sih, dari tadi?”
Ia takut, kalau tidak bangun
pagi, akan ada yang ngedumel. Lalu ia sadar, ayahnya tidak ada di sini. Ayah di
rumahnya. Yang ada bersamanya hanya suami dan anak-anak. Mereka benar-benar
terima saya apa adanya.
Ia akhirnya memberanikan diri
untuk bicara pada ibunya. Kemudian, sang ibu memintanya untuk memaafkan ayah
sambil berkata, “Ayahmu bisa keras seperti ini karena ia juga menerima didikan
yang keras dari nenek. Ibu berharap kamu bisa memaafkan ayah. Ibu berharap agar
lingkaran buruk ini berakhir di kamu saja.”
Setelah obrolan itu ia sadar
bahwa ayah sebenarnya sayang terhadap anak-anaknya. Namun, cara yang dilakukan
ayahnya salah. Benar-benar salah. Ayahnya hanya berharap ia bisa bahagia dan
tidak sengsara. Selama ini ayah keras, hanya karena ia takut anak anaknya
menjadi orang yang gagal dalam hidupnya. Ia berharap bisa sembuh dari luka
pengasuhan ini atau paling tidak, sifat buruknya berkurang. Ia tidak ingin
lingkaran buruk ini berlanjut ke anak-anaknya. STOP MULAI SEKARANG!
Diceritakan kembali oleh Rosianafe
Dari kisah ini pesan untuk para ibu, jika Anda memiliki anak laki-laki, tolong didiklah dengan lembut dan penuh kasih sayang. Tunjukkan padanya, kalau amarah bukanlah jalan keluar. Untuk para ayah, luangkanlah waktu untuk anak perempuanmu. Buatlah ia bahagia tanpa bentakan, omongan tajam, apalagi hinaan. Jangan biarkan anak perempuanmu malah mencari perhatian dari banyak lelaki di luar sana.
Ini adalah cerita keempat dari rangkaian kisah luka pengasuhan yang pernah kudengar dari sahabatku yang mengikuti pelatihan konseling. Semoga bermanfaat.
1. Dinda http://rosianafebriyanti.blogspot.com/2020/03/dinda.html
2. Manis http://rosianafebriyanti.blogspot.com/2020/03/manis.html
2. Manis http://rosianafebriyanti.blogspot.com/2020/03/manis.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar