Anak keduaku, Fadhil, sudah 2 hari (Sabtu dan Ahad) hilang kesadaran karena demam dan diare. Meracau dan tak ingat apa-apa. Ia merengik terus. Bola matanya ke atas, hingga aku sangat khawatir. Akhirnya, Ahad 20 Januari 2019, setelah shalat Isya, aku dan suami membawanya ke UGD Puskesmas Cigombong.
Sampai di sana, kami disuruh langsung ke rumah sakit yang lebih besar, karena anakku sudah hilang kesadaran. Tak perlu surat rujukan untuk kasus gawat darurat. Dan kami membawanya ke RS. Bhakti Medicare Sukabumi, karena itu yang terdekat. Celana Fadhil penuh kotoran, ah mengapa saya baru terpikir untuk membeli pampers sekarang.
Di UGD, anakku diterima dan langsung diinfus dan diambil darahnya. Jangan harap ada kursi untuk duduk, aku berdiri dan duduk di lantai yang tak terjamin kebersihannya. Ruang UGD sangat penuh, begitupun ruang rawat inapnya. Sepanjang malam aku berjaga, bergantian dengan suami, kusetel audio al matsurat dan membaca Al Fatihah berulang kali untuk menenangkan Fadhil. Pasien lainnya muntah sangat hebat, untung ada bagian cleaning service yang langsung mengepelnya. Bergantian orang yang masuk UGD, semua sudah masuk ruang rawat inap kecuali anakku. Dokter jaga menyarankan agar kami mencari rumah sakit lain yang ada fasilitas PICU (khusus anak). Fadhil dehidrasi berat jadi perlu penanganan yang intensif.
Pukul 2 dini hari aku sibuk menghubungi rumah sakit di Jakarta, menanyakan ada fasilitas PICU atau tidak, menerima BPJS atau tidak. Hal itu dikarenakan pihak rumah sakit sudah menghubungi rumah sakit Bogor dan Sukabumi, dan ternyata sudah penuh, tak ada kamar inap.
Mengapa kupilih rumah sakit di Jakarta, alasannya karena supaya dekat dengan rumah orang tuaku. Kalau ada apa-apa gampang bolak-baliknya.
Kemudian, pihak rumah sakit mengabari, bahwa RS. Puri Medika Jakarta Utara menerima pasien BPJS dan memiliki ruang PICU. Alhamdulillah.
Bertepatan dengan azan Subuh, kesadaran anakku kembali. Allahu Akbar! Kami senang sekali. Tapi tetap tak bisa pulang, kami harus membawanya ke rumah sakit lain. Senin, 21 Januari 2019, pukul 12.00, ambulan membawa kami ke Jakarta. Ambulans terasa panas karena AC rusak, anak sulungku yang juga sedang kurang sehat (sebenarnya diare juga tapi dia takut dirawat) muntah karena memang suka muntah kalau naik mobil.
Sampai di Puri Medika sekitar pukul dua siang.
Bagian pendaftaran tampak kurang bersahabat, mungkin karena cuma satu orang yang melayani. Kami terdaftar BPJS kelas 1 tapi ia bilang di kelas 2 saja. Olehnya, aku disuruh daftar ke bagian rawat inap. Katanya disuruh menunggu, tapi ternyata ganti orang, tak apa yang penting anakku dapat kamar, terserah mau kamar nomor berapa. Aku kembali ke ruang UGD dan menunggu anakku dipindahkan.
Aku menunggu cukup lama (ternyata bagian pendaftaran belum konfirmasi ke UGD mengenai kepastian kamar berapa), bagian UGD menelepon dan bagian pendaftaran datang baru memberi tahu. "Maaf, aku lagi sybuk!" kata wanita itu ke bagian UGD. Suamiku ke rumah mama setelah ada kepastian kamar.
Barulah Fadhil dipindahkan ke kamar 312.
Mengenai fasilitas, ternyata Fadhil mendapat kamar yang lebih baik daripada kelas 1, katanya kamar kelas 1 AC-nya mati. Kamar untuk 1 pasien, ada tv flat, dispenser, AC, kamar mandi dengan WC duduk. Alhamdulillah, suster dan cleaning servis sangat kooperatif.
Suster tampak sangat baik tapi juga kelelahan, entah mengapa di sini sepertinya kurang orang atau bagaimana. Satpam wanita yang pernah membantu mendorong ranjang ke kamar juga mengaku kurang istirahat dan pusing, ia meminta obat ke suster, suster pun menyarankan minum parasetamol saja.
Petang harinya, baru kusadari bahwa kamar mandi tidak ada lampunya. Orang CS langsung memoto kamar mandi dan melaporkan ke atasannya, sehingga lekas dipasang lampunya.
TV flat tidak dipakai karena saya belum tahu cara menggunakannya dan tidak ada remotenya. Suster juga kurang tahu penggunaannya. Tak masalah, yang penting anak saya dilayani dengan baik, saya bersyukur. Untuk dispenser 3 kran, ternyata galonnya kosong, dan harus isi ulang sendiri. Alhamdulillah orang CS mau disuruh isi ulang air galonnya. Di awal, air panas masih mengalir, tapi kemudian hanya air dingin yang keluar. Padahal, saya sangat membutuhkan air panas karena saya dan suami yang menjaga anak saya juga sedang batuk. Alhamdulillah ala kulli haal.
Alhamdulillah, hari pertama, ada mama yang sigap menolng kami, anak pertamaku dibawa ke rumah mama dan diurus oleh Tri, adikku. Fadhil masih mencret, tapi ketika ditensi sudah 35 derajat celsius. Alhamdulillah.
Selasa, 22 Januari 2019, pukul 06.15, suhu tubuh Fadhil sudah 36 derajat celsius. Alhamdulillah. Ia masih tertidur pulas.
Pukul 07.30 Fadhil dibangunkan untuk diambil darahnya. Diberi bubur sumsum, obat diare, dan obat cacing (entah mengapa dokternya memberi resep obat cacing). Fadhil sudah dilap badannya tapi masih pusing untuk bisa duduk. Sprei pun sudah diganti. Memang aku cukup cerewet dalam hal kebersihan. Aku juga minta perban infus di tangan Fadhil diganti.
"Emang sudah berapa hari?"
"Dua hari."
Suster pun mengganti perban yang sudah dekil itu.
Pukul 10.35 dokternya visit, katanya trombositnya turun jadi 156, ke arah demam berdarah, tapi gak demam. Aneh, dokter bilang paru-paru bersih, tapi batuk pilek.
PESAN SENYAP DARI RUANG UGD
.
.
Siapa yang tahu sakit akan dialamatkan kepada siapa, jam berapa, di mana, dan sakit apa. Kalau boleh meminta, kita ingin sehat selamanya membersamai kita. .
.
Satu pelajaran, jangan remehkan diare, muntah, dan demam. Sepele tapi tak main-main risiko yang harus kita hadapi. Tak mudah memang untuk bisa menerima kenyataan bahwa orang yang kita sayangi atau bahkan diri kita sendiri ternyata s-a-k-i-t. Jangan abai pada keluhan sekecil apapun. .
.
Ya Allah, Yang Maha Penyembuh, Rabbannas, saya terima bahwa saya sekeluarga sakit. Saya terima sebagai takdir, setelah saya mengoptimalkan ikhtiar. Tolong sembuhkan kami dengan tidak meninggalkan rasa sakit lagi. Jadikan sakit sebagai kafarat dosa-dosa kami. Aamiin. .
.
@30haribercerita #30hbc1921
Tidak ada komentar:
Posting Komentar