Gambar: Google |
Ketika ayam jantan tak lagi bertaji
Eja kata dalam sepotong jagung
Terikat dan berkokok lemah
Igaunya tengah hari di sangkar emas
Kokoknya pun kian asing
Aneh iramanya
Jika tuannya acungkan telunjuk: dia cuma
Angguk dan makin merunduk
Untuk jatuhkan paruh
Hilanglah muru'ah
Diamuk jagung dalam tembolok
Air mata pun keruh
Rusak dimakan tetelo
Inilah balada ayam kepala
Telah terukir namanya
Untuk dipajang di depan sangkar
Hiasi panggung misteri
Aksinya terlucuti
Nama yang terpampang di atas kepala
Nyatanya cuma ceker
Yang menyimpan tanya
Akan ke mana ia melangkah
(Rosianafe_Puisi Akrostik)
Beberapa teman bertanya, bagaimana menemukan ide tulisan. Saya menjawab, sebenarnya ide itu ada di sekitar kita, misalnya, dalam puisi ini. Ide menulis puisi ini semula hanya karena membaca lintasan berita di https://m.detik.com/news/berita/d-4904991/polisi-gerebek-lapak-judi-sabung-ayam-di-bogor-17-orang-ditangkap.
Saya heran, hari ini masih saja ada orang yang berjudi atau sabung ayam. Saya pikir itu sudah usang dan hanya ada di cerita rakyat Cindelaras. Konon, Prabu Anusapati dari Singasari juga tewas di arena sabung ayam, padahal Ken Dedes, ibunya, sudah melarang Anusapati membawa keris. Di Bali, tradisi Tajen juga sudah ada sejak kerajaan Majapahit. Dalam budaya Bugis, belum dikatakan pemberani kalau tidak punya kebiasaan minum arak dan sabung ayam. Pola pikir jahiliyah. 😂
Informasi ini saya baca di
https://medium.com/@bayuristiawan/sejarah-sabung-ayam-sebagai-pengingat-3-peristiwa-besar-di-nusantara-7924786875d7
https://medium.com/@bayuristiawan/sejarah-sabung-ayam-sebagai-pengingat-3-peristiwa-besar-di-nusantara-7924786875d7
Kemudian, saya berpikir apakah kebiasaan sabung ayam ini termasuk pengaruh dari jauhnya pemahaman seseorang dari nilai-nilai ketuhanan? Bisa jadi. Karena mengadu ayam termasuk perbuatan zalim terhadap binatang, dan Allah sangat membenci perbuatan zalim. Kalau sabung ayam saja sudah merupakan salah satu contoh kezaliman yang dilarang Tuhan, apatah lagi perbuatan namimah (adu domba) kepada sesama manusia? Jelas, ini pun terlarang dalam agama Islam. Masa kita mau diadu hanya gara-gara berbeda pilihan politik, pilpres, pilkada, pilkades, dan sebagainya? Cetek sekali pikirannya kalau hanya mengarah jabatan (yang dalam pandangan nabi) seperti sayap nyamuk yang rapuh?
Maka, terangkailah puisi ini dengan judul KETIKA JAUH DARI TUHANNYA, yang kemudian saya kembangkan dari huruf-hurufnya menjadi puisi akrostik. Usai membaca tulisan saya ini, adakah yang tertarik menulis puisi akrostik juga? Semangat menulis.💪💪💪
banyak ide menulis muncul, ketika kita banyak membaca
BalasHapusBetul, Om Jay. Tapi kadang saya juga gak ngerti kenapa suka melawan arus, saat orang menulis corona dan asyraf saya malah menulis sabung ayam yang cuma selintas saya baca.
Hapus