Rabu, 05 Februari 2020

KONSEP MERDEKA BELAJAR


Hari ke-19 , 3 Februari 2020
Workshop Menulis Bersama Om Jay
Narasumber : Indra Charismiadji
Disadur oleh : Rosiana Febriyanti
================================

Narasumber kali ini adalah Bapak Indra Charismiadji, direktur eksekutif CERDAS (Center for Education Regulation and Development Analisys), direktur pendidikan VOX Populi Institude Indonesia.

Menurutnya, begitu banyak problem yang dimiliki oleh dunia pendidikan Indonesia, tetapi sayangnya tidak banyak orang yang bersuara bahkan banyak yang tidak punya kepedulian terhadap dunia pendidikan. Hal itulah yang mendorong diri beliau untuk banyak bicara tentang pendidikan. Beberapa kali beliau berdiskusi dengan Mas Mentri mengenai dunia pendidikan Indonesia yang tidak bisa membedakan material learning dengan illusion of learning. Materi pembelajaran sesungguhnya dengan ilusi pembelajaran. Itulah sebabnya beliau semakin keras berbicara tentang bagaimana perbaikan-perbaikan dunia pendidikan.

Sebagai mana kita ketahui bersama, sebagai pendidik presiden kita, Bapak Joko Widodo sudah menentukan target yang cukup berat, yaitu tahun 2045 guru ditargetkan untuk menempati posisi kelima di kekuatan ekonomi dunia. Untuk mencapai hal itu banyak hal yang harus guru lakukan, salah satunya adalah pembenahan SDM. Hal ini pula yang menjadi penyebab menteri pendidikan mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajarnya.

Kemudian beliau bertanya kepada peserta workshop. Apa yang dimaksud dengan merdeka? Mengapa target di tahun 2045 pun berhubungan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia, mengapa merdeka itu sangat penting. Tahukah kita arti dari kemerdekaan selalu berbicara tentang guru penggerak?


Memang tidak semua guru dapat menjadi yang guru penggerak. Memurut Everett Rogers itu disebut inovator atau early adopters. Mereka yang menjadi inovator dan juga sebagai pengadopsi. Awalnya inovator itu berjumlah sekitar dua setengah persen dari total populasi. Jadi, dua setengah persen dari guru-guru Indonesia. Misalnya, Gurun Sahara 3 juta, 20% nya early adopters sekitar 13 setengah persen. Jadi, kalau ada 3 juta guru Indonesia, ada sekitar 400.000 guru yang disebut dengan early adopter atau pengadopsi awal yang mereka mereka bisa menjadi penggerak termasuk menggerakkan.



Dari semua definisi tentang kemerdekaan atau Freedom yang paling tepat menurut beliau adalah penjabaran dari Walter, seorang Novelis dari Amerika Serikat yang mengatakan Freedom Is State of Mind kemerdekaan adalah sebuah kondisi, pikiran, dan badan. Kita tidak akan pernah mampu memahami arti kemerdekaan secara mutlak tetapi pikiran kita dapat memahami kalau kemerdekaan itu berhubungan dengan kondisi pikiran, berarti ini sangat berhubungan dengan tingkat nalar manusia. Kalau tingkat penalaran manusia yang kita bahas ini tidak akan lepas dari satu hal yang akhir-akhir ini sering menjadi pokok bahasan para guru di Indonesia yaitu revisi dari Taksonomi Bloom.



Tingkatan C1 adalah tingkat berpikir atau nalar mengingat atau menghafal. Kalau kita bandingkan sekarang dengan pola anak-anak kita belajar yang modelnya SKS (sistem kebut semalam) yang hanya menyiapkan diri menghadapi ujian atau tes atau ulangan keesokan harinya, hal itulah yang membuat tingkat pendidikan kita salah satu yang terendah di dunia dengan nalarnya tidak dipakai, hanya dipakai untuk mengingat dan mengingat mengingat jawaban untuk menjawab tes. Setelah tes selesai semuanya akan dilupakan tidak ada manfaatnya.

Tingkatan C2 itu memahami. Segala sesuatu yang kita hafalkan dan kita ingat nanti kita lakukan berulang-ulang akhirnya akan terekam di otak kita dari short term memory akan masuk ke long term memory. Di sinilah terjadi yang disebut dengan paham. Jadi, sesuatu yang kita ulang-ulang terus menyebabkan kita akan paham. Contohnya begini, kalau Anda memberikan sebuah soal kepada peserta didik Anda, soalnya begini:
Di mana kalian membuang sampah?
A. laut
B Sungai
C pinggir jalan
D tempat sampah
Apa kira-kira jawaban dari siswa-siswi Anda terhadap soal tersebut?

Dimanakah kamu membuang sampah? Dan jawabannya di tong sampah, artinya dengan model soal seperti itu nilainya 100.

Apakah dalam kehidupan sehari-hari mereka memang mampu membuang sampah di tempat sampah atau mereka hanya tahu jawaban dalam bentuk teori saja? Teorinya membuang sampah di tempat sampah, tetapi praktiknya dalam kehidupan sehari-hari mereka membuang sampah sembarangan. Di sini kita bisa tahu bedanya Nalar C1, C2 C3, C4 itu cuma dihafalkan saja. Tingkat C2 tahu teorinya saja dan bisa menjawab soal, tetapi praktiknya tidak ada, sedangkan C3 sudah aplikasinya, mereka sudah bisa melakukan apa yang mereka pelajari. Jadi itulah sebabnya level C1 itu level Nalar yang paling rendah dan C2 lebih sedikit di atasnya, C3 lebih lagi di atas C2.




Tingkat nalar manusia itu akan berhubungan dengan bagaimana kita memberikan pembelajaran di dalam kelas. Ini yang dikatakan Mas Menteri sebagai pembelajaran ilusi pembelajaran atau illusion of learning. Kelihatannya seperti belajar, tetapi sebenarnya itu hanya ilusi yang harus kita perbaiki dengan konsep Merdeka belajar.

Pada tingkat C3 artinya anak sudah bisa melakukan. Manusia bisa melakukan apa yang mereka pelajari bukan hanya sekedar teori saja. Akan tetapi, mengapa C3 ini masih ditempatkan sebagai tingkat nalar yang rendah atau lower order thinking skill? Apakah anak SD tidak boleh di level C6?


Dalam video eksperimen, terlihat bagaimana seseorang yang berada di sebuah klinik dokter setiap bunyi bel "Tiiit" orang-orang di sekitarnya berdiri. Nah kita lihat dia itu berdiri, yang yang melihat di sebelahnya berdiri akan berdiri juga tanpa tahu alasan berdiri.

Mengapa C3 tingkat mengaplikasi dianggap sebagai nalar yang rendah walaupun sudah bisa melakukan sesuatu materi. Misalnya, guru disuruh membuat RPP, begitu ditanya kenapa menyusun RPP-nya panjang-panjang, kemudian menjawab karena diperintahkan sepertu itu. Itulah konsep berpikir nalar yang masih di tingkat C3, tidak bisa melakukan tapi tidak pernah tahu mengapa melakukannya seperti itu, hanya tahu yang wajib seperti itu. 

Sebaliknya, di level C4 itu sudah melakukan, tetapi tahu apa yang dilakukan. Contohnya, anak-anak yang bisa membuang sampah di tempat sampah, kita tanya ke mereka, kenapa kamu buang sampah di tempat sampah, mereka menjawab kalau buang sampah sembarangan nanti mengurangi keindahan, akan muncul bau yang tidak sedap, nanti muncul banyak lalat, mengundang datangnya tikus, akan menimbulkan penyakit, dapat menimbulkan banjir, dan sebagainya. Jadi, mereka bisa memberikan penjelasan yang muncul dari dalam diri sendiri. Kenapa mereka sama-sama melakukan hal itu, tetapi mereka bisa menganalisis dirinya kenapa mereka melakukan hal tersebut?

Contoh lain dalam kehidupan sehari-hari, selama beliau berkeliling Indonesia memberikan pelatihan ke banyak guru selalu beliau bertanya ke beberapa dari mereka,  "Bapak ibu, Anda ke sini naik apa?" Sebagian besar mengatakan naik sepeda motor, ada juga yang naik mobil, sudah tidak ada jawaban jalan kaki. Kepada mereka yang naik sepeda motor beliau tanya, "Anda pakai helm?" Mereka itu menjawab "Iya kami pakai helm." "Kenapa nggak pakai helm?"

Kepada guru yang menjawab naik mobil juga ditanya, "Apa Anda pakai sabuk pengaman dan pakai seat belt?"
"Iya Pak," sahut mereka.
 "Kenapa nggak pakai sabuk pengaman?"

Selama ini semua guru yang pernah menghadapi pertanyaan tersebut akan sama jawabannya dengan mereka mengatakan saya pakai helm, "Saya pakai sabuk pengaman supaya tidak ditangkap polisi, supaya tidak ditilang," dan tidak ada yang menjelaskan kepada beliau agar kepala terlindungi dari bahaya kecelakaan.

Jadi, inilah bedanya level C3 dan C4. Walaupun sama-sama melakukan, C3 akan menjawab," Saya pakai helm biar nggak ditangkap Polisi," maka tingkat nalarnya lebih rendah. Inilah kurang lebih bedanya C3 dan C4, walaupun sama-sama melakukan.

Pada tingkatan C5 ini ada proses mengevaluasi, mereka melihat sampah bukan sekadar sampah. Sampah memang perlu dibuang di tempatnya, tetapi mereka bisa melihat sampah ini adalah sampah plastik. Plastik itu tidak bisa diurai sampai 25 tahun, untuk itu akan saya pisahkan antara sampah plastik dengan sampah kertas sampah organik dan yang sebagainya. Pada level ini orang sudah bisa mengevaluasi tindakannya. Jadi, menganalisis tindakannya, bukan tindakan orang lain. C5  adalah evaluasi tindakan yang ada cara yang lebih baik dari devaluasi tindakannya.

Sedangkan, C6 tingkat berpikir manusia yang paling tinggi adalah menciptakan. Dalam konteks membuang sampah, anak melihat sampah bukan sekadar sampah, tetapi sudah berpikir bagaimana caranya kita bisa membuat pupuk kompos, bagaimana caranya bisa didaur ulang atau tidak harus dalam bentuk produk. Misalnya, membuat sebuah gerakan kita mau bikin gerakan sekolah bersih sampah atau gerakan kampung bersih dari sampah, ini sudah levelnya C6. Jadi, yang disebut C6 itu tidak selalu harus punya produk yang baru, tetapi membuat sebuah gerakan membuat sebuah perubahan itu juga sudah levelnya mencipta. Inilah bedanya tingkat berpikir C1, C2, C3, C4, C5, dan C6. Tingkat C6 adalah tingkat nalar tertinggi atau orang yang paling cerdas adalah orang bisa menciptakan, sedangkan tingkat nalar terendah adalah mereka yang hanya bisa menghafal.

Apa yang terjadi kalau proses belajar hanya sampai menghafal?



Orang-orang yang bernalar rendah antara C1 sampai C3 adalah orang-orang yang merasa mereka tidak punya pilihan mereka wajib harus melakukan ini tanpa paham, sedangkan orang-orang di level C4, C5, dan C6 selalu punya pilihan karena mereka bisa menganalisis. Analisis pun tidak tidak biner yang tidak satu dan nol bukan hanya pilihannya, hanya mau melawan dan tidak melakukan tetapi bisa menjelaskan mengapa saya melakukan ini. Nah, itulah orang-orang yang merdeka.

Dengan demikian, konsep merdeka belajar adalah konsep berpikir minimal di level C4, bukan hanya menghafal, bukan hanya bisa menjawab soal teorinya saja, bukan juga bisa melakukan, tetapi tidak tahu mengapa mereka melakukan hal tersebut. Itu bukanlah orang-orang yang merdeka karena orang-orang yang merdeka selalu punya penjelasan. Kenapa mereka melakukan hal ini tidak pernah terpaksa tidak pernah merasa wajib ada ketakutan, tetapi mereka bisa bergerak tanpa menunggu perintah. Inilah yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia ini, berhubungan dengan tantangan di era 4.0 yang semakin banyak pekerjaan yang hilang karena digantikan oleh teknologi oleh robot dan pekerjaan. Pekerjaan tersebut adalah pekerjaan pekerjaan yang menggunakan tingkat nalar yang rendah bisa kita lihat listnya. Contoh pekerjaan administrasi mengetik, memesan tiket, memesan makanan, menjawab telepon, itu semua tingkat nalarnya rendah bisa digantikan oleh teknologi. Ini tantangan kita. 

Beliau menambahkan, ada kajian yang mengatakan, 65% dari siswa yang berada di bangku SD saat ini nantinya akan bekerja di bidang yang hari ini belum tercipta. Dengan kata lain, 65% dari anak-anak kita ini dituntut untuk bukan menjadi pencari kerja, tetapi menjadi pencipta lapangan pekerjaaan karena mereka akan bekerja di bidang yang sangat baru, yang saat ini belum ada, dan sangat mungkin karena era beliau sekolah dulu belum ada. Beliau punya cita-cita mau bekerja di Google, di Facebook, di go-jek, dan lain sebagainya ada zaman belum ada semakin modern. Ini akan semakin mungkin untuk munculnya bidang-bidang baru. Nah inilah kenapa kita bahkan butuh anak-anak kita tidak berhenti di level C1 tapi mereka dituntut untuk di level C6 karena pekerjaan yang ada bidang yang ada tinggal tersisa 35% saat mereka waktunya bekerja nanti. 


Jack Ma mengatakan, kita tidak bisa mengajarkan anak-anak kita untuk berkompetisi, untuk bersaing dengan mesin karena kemampuan mesin itu lower order thinking skills hanya sampai C3 saja karena mereka hanya menjalankan perintah tapi level C3, C2, C1 nya jauh lebih hebat dalam berkompetisi dengan mereka.



Kesimpulannya adalah kalau manusia manusia itu ingin sukses di abad 21 ini mereka tidak bisa berhenti di tingkat Nalar C3 karena C3 itu akan mudah tergantikan oleh mesin. Mungkin kita sering mendengar konsep artifisial intelijen machine learning dan sebagainya yang menjelaskan seakan-akan teknologi komputer mereka. Memang bisa mengambil data begitu banyak dan cepat sebegitu presisi tapi tidak ada satupun mesin teknologi komputer yang bisa menjawab mengapa melakukan ini. Mereka tidak tahu, mereka hanya melakukan ini karena perintahnya. 




Kurikulum 2013  bertujuan untuk menciptakan atau menumbuhkan keterampilan abad 21, kemampuan berpikir kritis, kemampuan berkolaborasi, komunikasi, dan kreatif. Ini sudah berjalan 6tahun. Kita tidak akan mungkin bisa berpikir kritis kalau kita nalar masih rendah. Di level C3 tidak mungkin orang bisa berpikir kritis, tidak bisa berkolaborasi kalau level nalarnya juga baru sampai C3 walau masih bisa komunikasi dengan baik. Kalau levelnya hanya 3 apalagi kreatif, itulah tantangannya. Kemampuan berpikir tinggi, minimal di C4 bisa menumbuhkan keterampilan abad 21 dan kolaborasi.

Ada sebuah informasi menarik, tahun lalu beliau diajak berapa kali oleh komite ekonomi dan industri nasional berbicara tentang persiapan atau desain SDM di era digital. Beberapa narasumber diundang, salah satunya beliau mewakili ide-ide asosiasi e-commerce Indonesia seperti Bukalapak, Tokopedia. Ada asosiasi di toko-toko online. Menariknya, dari mereka mengatakan ternyata Indonesia itu kekurangan programmer. Walaupun kita punya banyak sarjana komputer, punya banyak anak lulusan SMK, ternyata kekurangan programmer. 
Perusahaan-perusahaan digital saat ini justru lebih banyak menggunakan programmer dari India atau dari Cina dan ini secara resmi ada di websitenya kominfo kalau Indonesia darurat programmer. Ini fakta yang benar, kita punya banyak lulusan SMK.

Beliau bertanya ke teman-teman di asosiasi, mengapa kita kekurangan programmer, apa ilmunya yang salah? Jawaban dari mereka sangat mengagetkan, mereka mengatakan bahwa bukan karena anak Indonesia yang mampu jadi Superman, tetapi sayangnya tidak ada yang mampu menjadi supertim. Artinya mereka bisa mampu secara hebat bekerja sendiri, tetapi ternyata saat diminta untuk bekerja dalam tim anak-anak kita tidak mampu karena mungkin tidak biasa di sekolah diajarkan untuk bekerja dalam tim untuk berkolaborasi dan hal ini mungkin juga harga karena para guru juga tidak mampu berkolaborasi.

Beliau  melihat dengan mata kepala sendiri saat beliau memberikan tugas kepada para guru dan tugas kelompok, terlihat sekali banyak guru yang tidak terbiasa, tidak tahu caranya bagaimana bekerja dalam kelompok misalnya saya memberikan sebuah tugas hampir tidak ada pembagian tugas. 

Ada kelompok yang terdiri dari 3 orang, satu kelompok 3 orang yang mengerjakan hal yang sama tiga-tiganya, padahal yang dikerjakan adalah hal yang sama sehingga waktunya habis terbuang. Di situ juga ada kelompok yang kerja satu orang, yang dua orang lagi hanya menonton temannya bekerja. Ada lagi yang mengobrol, yang satunya kerja jadi tapi tidak pernah beliau temui berkolaborasi. Bagaimana 3 orang atau lebih ini bisa membagi tugas bisa saling mengisi hasil yang sangat baik, lebih baik dari kerja sendiri, dan lebih cepat. Ini tidak akan terjadi di Tokopedia dan di Facebook, karena pekerjaan ini tidak mungkin dikerjakan oleh seorang programmer, ini bisa membutuhkan puluhan, bahkan ratusan programmer yang bekerja bersama-sama. Tentunya mereka harus mampu memiliki kemampuan untuk berkolaborasi, bekerja sama dengan yang lain, bukan sama-sama bekerja. Bekerja sama menghasilkan satu yang lebih cepat lebih baik karena punya otak untuk berpikir, pekerjaan juga dibagi bersama-sama. 

Ini menunjukkan betapa kemampuan berpikir pada tingkat penalaran tinggi itu memang yang dibutuhkan untuk kita bisa berpikir kritis. Jadi kalau menurut Edward De Bono, berpikir kritis itu juga disebut convergent thinking atau logical thinking atau vertikal thinking. Pada dasarnya, dia punya beberapa pilihan, tetapi bisa menentukan mana yang terbaik. Jadi disini adalah faktor intrinsiknya, faktor dari dalam diri sendiri, untuk melakukan sesuatu jauh lebih dominan daripada faktor ekstrinsik atau faktor dari luar yang memaksa dihasilkan.

Sebagaimana contoh sebelumnya, mereka yang membuang sampah di tempat sampah dengan memberikan penjelasan. Kalau tidak buang sampah nanti menimbulkan penyakit, bau, yang nanti cara berpikir nalarnya minimal di level C4. 

Guru-guru penggerak adalah guru-guru yang bisa bergerak tanpa perintah-perintah tanpa ada juknis, tanpa ada Permendikbud, tetapi bisa menjalankan langkah untuk bagaimana membawa anak-anak Indonesia ini menjadi kekuatan ekonomi nomor 5 terbesar di dunia pada tahun 2045.

Mengenai kolaborasi secara singkat beliau menjelaskan, kalau kita mau menganalis tidak ada karya manusia yang diciptakan sendiri, artinya semua ciptaan manusia itu adalah hasil kolaborasi atau ada sentuhan orang lain. Jadi orang yang berada di level C6 pasti orang yang bisa berkolaborasi. Inilah pentingnya berkolaborasi, apalagi hubungannya dengan kita harus menjadikan anak-anak kita adalah pencipta kerja bukan pencari kerja lagi sesuai dengan tantangan industri 4.0. Anak dapat memiliki skill kreatif atau disebut juga Divergent thinking yang kalau dia diberi soal-soal, dia punya banyak jawaban yang disebut dengan creative thinking. Untuk bisa ke sana, tentunya nalarnya harus tinggi. Tidak mungkin orang yang kreatif berpikir rendah. Sayangnya, pendidikan itu justru membunuh kreativitas, hasil kajian Andrian menunjukkan semakin tinggi siswa belajar, semakin lama siswa belajar, semakin mereka tidak kreatif, dan itu yang harus kita perbaiki.

Mengenai bagaimana pemanfaatan nalar tinggi dalam memecahkan masalah sehari-hari dimulai dari berpikir kritis dulu, melihat apa masalahnya, kemudian mencari jawabannya, menentukan jawaban secara divergen, bisa berasal dari kolaborasi, bisa kreativitas sendiri, bisa juga hasil komunikasi, dan kemudian menentukan jawabannya dengan convergent thinking lagi atau berpikir kritis. Inilah konsep pendidikan pembelajaran abad 21. Konsep merdeka belajar itu sebetulnya adalah buah pikiran dari bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro. Mas menteri meluncurkan konsep Merdeka belajar karena yang pertama adalah ini target dari presiden kita, pada tahun 2045 Indonesia harus menjadi kekuatan ekonomi terbesar nomor 5 di dunia, penghasilan masyarakat Indonesia harus 27 Juta perbulan secara rata-rata seluruh Indonesia, dan konsep belajarnya harus diubah harus di level nalar tingkat tinggi, minimal C4 dan didorong untuk sampai C6. 

Kesimpulannya adalah merdeka belajar itu diawali kondisi pikiran, yang dimaksud dengan kemerdekaan adalah tingkat berpikir di level tinggi, minimal C4 atau menganalisis, C5 mengevaluasi, dan yang terakhir menciptakan C6. Yang harus kita dorong adalah pembelajaran yang berbasis nalar tinggi. Lupakanlah model pembelajaran hanya menghafal, hanya tahu teorinya atau bisa melakukan, tetapi tidak tahu mengapa harus melakukan hal tersebut, karena di sisi lain tantangan industri 4.0 harus menjadikan anak kita bahkan berada di level C4.

Tulisan di atas saya tulis seperti yang dituturkan dalam voice note Whats App oleh Pak Indra Charismiadji dalam workhop dengan beberapa perubahan. Saya mohon maaf apabila ada kesalahan tik karena keterbatasan saya dalam menangkap pesan beliau secara lisan melalui voice note, mungkin ada informasi yang terlewat atau faktor human error dari saya. Menurut beliau, penuturan itu baru membahas yang luarnya, belum mendalam. Kalau ada hal yang ingin didiskusikan beliau bersedia untuk diundang ke sekolah-sekolah untuk menjelaskan konsep Merdeka Belajar.



4 komentar:

  1. Lrngkap sekalinresumenya sehingga dapat mmebantu kawan kawan yg tdk ikut kuliah online

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Om Jay. Hanya saya agak keteteran mencatatnya, terlebih kalau ada nama atau istilah bahasa asing. Mohon dikoreksi kalau ada kesalahan ya, Om.

      Hapus
  2. Balasan
    1. Terima kasih, Bu Astuti, sudah berkenan membaca tulisan saya.

      Hapus