Minggu, 16 Februari 2020

PGRI, APA KABAR?




PGRI selama ini identik dengan ASN atau guru yang mengajar di sekolah negeri. Almarhum Bapak saya juga suka cerita gajinya selalu dipotong untuk Askes dan iuran PGRI. Ternyata, hari ini banyak juga guru swasta yang menjadi pengurus PGRI. Bahkan, mereka lebih gencar melakukan kegiatan.

Narasumber semalam adalah Bapak Syam Zaini, tinggal di kota Palu Sulawesi Semalam, beliau berbagi kisah suka dukanya mengurus organisasi guru, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Beliau baru satu bulan menjabat ketua PGRI Prov Sulteng, jabatan sebelumnya 10 tahun menjadi sekretaris umum.

Awalnya beliau kenal PGRI saat mulai jadi guru (1995). Semula beliau dan teman ketika itu meminta kepada pengurus PGRI setempat untuk memperjuangkan kekurangan gaji seluruh guru kota Palu yg setahun tak dibayarkan.

Namun dengan arogannya pengurus PGRI tak mau, justru memarahi mereka (yang guru muda) serta diintimidasi. Maka jiwa muda beliau dan teman-teman memberontak. Mereka membentuk organisasi tandingan dengan nama "Forum Independent Peduli Guru (FIPG)" Sulawesi Tengah, dan saat itu guru-guru muda sangat mendukung.

Sebulan kemudian tuntutan mereka dipenuhi, dan Pemkot membayar sesuai hak-hak guru tersebut. Seiring waktu, organisasi yang mereka bentuk (FIPG) hilang dengan sendirinya, karena tuntutan sudah dipenuhi.

Dalam perjalanan mencari info tentang PGRI, ternyata hampir semua pengurusnya pejabat di Kanwil Dikbud, mulai dari ketua sampai pengurusnya rata2 pejabat dikbud. Maka belia bertanya, ini organisasi guru atau pejabat?

Setelah beliau pelajari AD/ART memang memungkinkan untuk menjadi pengurus di PGRI. Ditambah lagi di era ORBA saat itu, tak ada satu organisasipun yang boleh tak sejalan dengan pemerintah, itulah yang terjadi.

Beliau mulai masuk jadi pengurus cabang, tetapi tak tau apa yang dikerjakan karena semua pengurusnya sibuk. Terasa ada kegiatan hanya pada saat Hari Ulang Tahun saja. Lanjut ke pengurus kota, sama saja, hanya pegang SK, mau menemui ketua saja susah, alasannya sibuklah, ditambah lagi rasa segan, karena ketua merupakan pejabat Kanwil Dikbud.

Tahun 2009  lalu beliau direkrut oleh pengurus hasil konferensi provinsi, sebagai wakil sekum PGRI Prov SulTeng. Nah saat itulah berubah pemahamanku terhadap organisasi PGRI ini, setelah melihat variasinya kemajuan PGRI di berbagai daerah Indonesia. Selama ini beliau menggeneralismasi PGRI yang beliau anggap tak ada berbuat apapun untuk guru.

Ada 13 kabupaten/kota di Sulteng harus beliau dikunjungi, bahkan menuju pulau-pulau untuk melakukan penguatan, konsolidasi organisasi. Tak ada dana operasional dari pemerintah, waktu tersita, jangan kan mau dapat honor, bahkan tidak jarang semua pengurus patungan buat beli bensin untuk transportasi. Sampai di tujuan pun malah tak jarang mendapat hujatan dari anggota, dianggap tidak peduli nasib mereka.



Di satu sisi sebagai kepsek beliau harus mengurus sekolah, di sisi lain beliau sebagai pengurus PGRI harus menunaikan amanah dari anggota. Mengurus sekolah dibilang PGRI lagi tidur, mengurus organisasi dikatakan kapan urus sekolah. Serba salah, lantas kalau tak ada yang mengurus organisasi ini, siapakah yang mau mengurus? Apakah (maaf) Pol PP, pemadam kebakaran? Tak mungkinlah. Organisasi diurus pejabat diprotes, diurus guru malah tak aktif, bilanglah tak ada waktu. Lantas siapa yang punya waktu untuk mengurus organisasi guru. Pensiunan? Diprotes, bilangnya; bagaimana mau maju, nah yang mengurus berjalan saja susah.😁

Belum lagi waktu untuk anak istri menjadi tersita, banyak acara ditinggalkan karena urus kepentingan guru-guru. Tidak jarang ketika guru-guru berhadapan dengan hukum, dilaporkan oleh orang tua siswa karena melakukan tindakan kekerasan, maka guru menjadi tersangka. Siapa yang membela mereka?

Guru berada di posisi lemah, UU Perlindungan Anak lebih kuat dari pada Permendikbud. Tidak ada yang peduli kepada guru saat mereka berhadapan dengan hukum, kecuali organisasi guru.


Idealisme ini yang membuat beliau sangat mencintai organisasi PGRI, banyak yang sudah diperbuat oleh PGRI terhadap guru dan pendidikan di tanah air, namun sayangnya masih ada yang berkata; apa yang telah diperbuat PGRI? Jangan salahkan anggota, karena info itu tidak sampai kepada mereka. Para pengurus PGRI di berbagai tingkatan belum maksimal, belum piawai untuk "menuliskan" perjuangan PGRI terhadap guru.



Sebagus apapun program organisasi, jika tidak menguasai media, maka tak akan berakibat positif secara signifikan.

Dari situlah, maka setelah beliau menjadi sekum 5 tahun yang lalu, beliau sudah "rajin" menulis lepas di opini media massa, baik online maupun cetak.  Wajah guru di negeri ini harus di "framing" dengan segala kelebihan dan kekurangannya, agar menjadi perhatian semua kepentingan.

Satu bulan (9 Jan 2020) beliau menjadi ketua PGRI Prov SulTeng melalui pemilihan konferensi Provinsi, maka beliau telah melakukan sedikit "kehebohan" dengan tulisan di media massa, melakukan audiensi keberbagai pihak terkait dengan guru yg berhadapan dengan hukum, karena tidakan kekerasan pendisiplinan di sekolah.

Ada beberapa kata kunci dalam berorganisasi (versi saya);
1. Pemecahan masalah sering membutuhkan keberanian berpikir dalam pengambilan keputusan.
2. Kecepatan bertindak sering dibutuhkan tanpa menunggu berpikir panjang untuk menganalisis ketentuan dan langkah tindakan.
3. Kemampuan bertindak cepat dipengaruhi gaya kepribadian yang menjadi sifat bawaan.

Ketika kepemimpinan menanjak, tanggung jawab bertambah, hak-hak pribadi semakin berkurang. Pengurus dan anggota harus saling membangun hubungan relasi yang baikmdan efektif, pengurus akan lebih rasa tanggung jawab kalau saling mengenal.

Saling mengenal tidak harus bertatap muka langsung, namun dapat "dikenal" melalui tulisan, era digital saat ini sangat terbuka lebar untuk dikenal dan saling mengenal.

PGRI selama ini sudah mengapresiasi guru honor yang di negeri untuk kesejahteraannya dan memperjuangkan nasib guru swasta. PB PGRI sudah mengapresiasi, kita bisa membaca suaraguruonline.com, ada jejak digitalnya atau web pgri.or.id

Namun kelemahan guru kita (kalau mau dibilang begitu), hal seperti tentang peningkatan kompetensi kurang tertarik untuk dibaca, kalau untuk kesejahteraan, keterlambatan TPG, sangat antusias, itu hal yang manusiawi.

Guru swasta di sekolah Swata (SPK) yang kemarin TPG dihentikan, PGRI menolak keras sepanjang syarat-syarat tunjangan sertifikasinya terpenuhi. PGRI juga meminta untuk tidak ada diskriminasi antara pemberian TPG bagi guru negeri dan swasta.

Jati diri PGRI:
1. Sebagai Organisasi Profesi,
2. Sebagai Organisasi Perjuangan,
3. Sebagai Organisasi Ketenaga kerjaan,

Sifat PGRI:
1. Unitaristik,
2. Independent,
3. Non Partisan.

Jenis anggota PGRI:
1. Anggota biasa,
2. Anggota luar biasa
3. Anggota kehormatan.

Unitaristik; tidak membedakan guru dari agama, suku, mengajar dijenjang pendidikan manapun, maupun guru swasta/honorer maupun PNS.

Semua bersatu dalam wadah PGRI. Sekali guru tetap berjiwa guru. Dalam berorganisasi prinsip beliau adalah  "Jika tak bisa berbuat semua kebaikan, ambilah walau hanya sedikit."

Tentunya masih banyak "PR" yang harus diselesaikan, asalkan kita bersama kita bisa, jangan berpikir perjuangan itu akan kita nikmati saat ini, namun tanamlah untuk generasi guru berikutnya.

"BERSAMA KITA KUAT, KUAT KALAU BERSAMA"

Kompetensi kepemimpinan:
1. Intelektual; kemampuan berpikir jernih, startegis, situasional, kondisional, pragmatis, visioner, futuristik, holistik.
2. sosial; mampu mengidentifikasi yang dipimpin, memahami potensinya, memotivasi, menggerakkan, mengarahkan dan memberdayakannya.
3. Psikologis; mampu membangun, membakar dan mengobarkan semangat massa.
4. teknis; memiliki keunggulan,penguasaan dalam suatu bidang,
5. konseptual; berpikir strategis, mampu membangun suatu konsep yang cerdas.
6. manajerial, negosiator dan berwawasan kebangsaan.

Karena tuntutan tugas ayah beliau sebagai TNI, maka beliau selalu berpindah sekolah, ditambah darah yang mengalir padanya dari berbagai suku (Palembang, Aceh, Bali) plus istri Maakssar dan suami kakak perempuan beliau pun berasal dari berbagai suku maka beliau banyak menguasai bahasa daerah di Indonesia dan mudah bergaul dengan siapapun.

Ini modal awal beliau untuk dapat mengurus organisasi guru saat ini, karena dibutuhkan kepiawaian, komunikasi yang baik kepada seluruh pengurus dan anggota. Mengurus organisasi guru itu tentunya memiliki suka duka, tetapi bagi beliau pribadi banyak sukanya, asalkan kita ikhlas dan tak ada tendensi pribadi. Jangan mengedepankan kepantingan parasitisme, namun simbiosis mutualisme.

Kalau guru honorer itu adanya di sekolah negeri, bukan di sekolah swasta, jumlahnya sekitar 725.000 orang sekarang ini. (Angkanya bergerak terus). Jumlah guru di sekolah negeri sekitar 2,2 jt, jadi jumlah guru honor lebih sedikit. Jumlah guru negeri dan swasta sekitar 3.1 jt.

Terakhir, beliau menulis

Assalamualaikum wrwrb.....,
Bapak ibu rekan-rekan hebat yang saya hormati, terima kasih sudah berbagi. Mohon maaf karena sudah banyak grup dan saya akan konsentrasi dengan amanah yang diberikan kepada saya, maka saya izin left dari grup ini. 🙏🏻🙏🏻

Prinsip saya dalam marketing; kecap ABC no 1, tak boleh bilang kecap merek lain jelek..😂😂😂

Yamaha No 1 diDunia....,
Honda lebih unggul....,
Suzuki inovasi tiada henti.....,

Lebih baik.....Naik Vespa....😃😃😃👍👍👍🙏🏻🙏🏻🙏🏻

Wassalaam....🙏🏻🙏🏻

Baiklah, Pak Syam Zaini, terima kasih telah berbagi suka duka menjadi pengurus PGRI. Sukses selalu.

Saya pun terlelap usai meneguk segelas wedang jahe. Segelas untuk saya, segelas lagi untuk suami yang selalu mendukung apa pun yang saya lakukan.

Hari ini hadiah buku Penelitan Tindakan Kelas dari KSGN sudah tiba. Terima kasih KSGN. Saya merasa workshop ini sudah seperti kuliah online gratis.  🙏




2 komentar: