Tulisan ini saya buka dengan puisi yang baru saja saya buat untuk menggambarkan keperihan hati saya atas musibah yang menimpa akhir-akhir ini, hanyutnya anak-anak yang berujung kematian.
PITA HITAM
Tidak bermaksud untuk menyalahkan
Setiap insan tentu pernah salah langkah
Proses hukum telah berjalan
Coba berpikir jernih atas musibah
Dinginkan hati juga kepala
Stop hujat dan tanya salah siapa
Tidak semua guru itu sama
Biarkan kebenaran yang berbicara
Bogor, 27 Februari 2020
Rosianafe
Pita hitam lambang berduka. Berduka atas meninggalnya murid-murid Turi karena terbawa arus dalam kegiatan susur sungai.
Sebagian pembina pramuka yang menyuruh susur sungai tidak peduli keselamatan murid-murid. Pak Anu, Pak Inu, dan Pak Ono adalah pembina pramuka yang menyuruh susur sungai dan tidak peduli keselamatan murid-murid. Pak Ini, Pak Oni, Pak Unu, dan Pak Ino menolong murid-murid yang terbawa arus sungai. Berarti semua pembina pramuka yang menyuruh susur sungai tidak peduli pada keselamatan murid-murid.
Wah, ini generalisasi yang sesat dan menyesatkan! Terlepas dari kasus yang menimpa murid-murid Turi, selama ini kita akui bahwa Pramuka mengajarkan kemandirian, kedisiplinan, organisasi, ketahanan hidup, kesehatan, dan kepedulian terhadap lingkungan. Seharusnya demikian, bukan sekadar kegiatan baris-berbaris. Jangan karena kasus ini lalu kegiatan Pramuka ditiadakan sama sekali. Justru peran pembinanya yang harus dikuatkan di sini, selaku Yanda dan Bunda yang menjadi pengasuh, pengayom, dan pemberi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Seandainya Pramuka tidak menjadi kegiatan ekstrakurikuler wajib di sekolah, murid-murid diperkenankan memilih kegiatan ekstrakurikuler lainnya sesuai kebutuhan sekolah karena kondisi sekolah berbeda di setiap tempat. Sebaiknya kegiatan ekstrakurikuler mampu menggali dan memupuk potensi terbaik murid-murid yang tidak muncul selama kegiatan belajar di kelas. Kepercayaan diri murid-murid tumbuh dan berkembang sesuai passion, minat, dan bakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar