Sabtu, 01 Februari 2020

BELAJAR MENYUNTING DENGAN BAPAK M. KHOIRI




Hari ke-17, 1 Februari 2020
Workshop Menulis Bersama Om Jay
Narasumber: Much. Khoiri
Disusun oleh: Rosiana Febriyanti

================================
Lahir di Desa Bacem, Madiun 24 Maret 1965, Much. Khoiri kini menjadi dosen dan penulis buku dari FBS Universitas Negeri Surabaya (Unesa); pengurus Pusat Literasi Unesa, serta Ketua Satuan Kehumasan Unesa. Alumnus International Writing Program di University of Iowa (1993) dan Summer Institute in American Studies di Chinese University of Hong Kong (1996) ini  juga trainer untuk berbagai pelatihan motivasi dan literasi. Ia masuk dalam buku 50 Tokoh Inspiratif Alumni Unesa (2014). Pernah menjadi Redaktur Pelaksana jurnal kebudayaan Kalimas dan penasihat jurnal berbahasa Inggris Emerald. Pernah menjadi redaktur Jurnal Sastra dan Seni. Selain menghidupkan beberapa komunitas penulis, kini ia mengomandani kegiatan Ngaji Sastra di Pusat Bahasa Unesa bersama para sastrawan. Karya-karyanya (fiksi dan nonfiksi) pernah dimuat di berbagai media cetak, jurnal, dan online—baik dalam dan luar negeri. Ia telah menerbitkan 34 judul buku tentang budaya, sastra, dan menulis kreatif—baik mandiri maupun antologi. Buku terbarunya antara lain: Jejak Budaya Meretas Peradaban (Jalindo-SatuKata, 2014), Rahasia TOP Menulis (Elex Media Komputindo, 2014) yang kini best seller, Pagi Pegawai Petang Pengarang (Genius Media, 2015), Much. Khoiri dalam 38 Wacana (Unesa University Press, 2016), SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan (Unesa University Press, 2016), kumpuis Gerbang Kata (Satu-Kata, 2016), Bukan Jejak Budaya (Pagan-Press, 2016), Mata Kata: Dari Literasi Diri (Pagan-Press, 2017),  Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku (Pagan-Press, 2017), Virus Emcho: Berbagi Epidemi Inspirasi (Pagan-Press, 2017), dan Writing Is Selling (2018). Sekarang dia sedang menyiapkan naskah buku-buku tentang menulis dan karya sastra (puisi dan cerpen). Dia cukup aktif menulis di  www.kompasiana.com/much-khoiri sejak 27 Februari 2012 dan muchkhoiri.gurusiana.id


Beliau berbagi tentang bagaimana menjadi editor yang "baik", baik untuk naskah sendiri maupun naskah orang lain. Bagaimana cara kita menjadi editor buku yang baik?

Sebagai contoh beliau membagikan salah satu artikel dari bukunya yang bertajuk *Writing Is Selling* (2018).



Serial 'Teori' Menulis (30)
*MENYUNTING TULISAN*
Oleh MUCH. KHOIRI

JIKA kita sudah membuat draf pertama tulisan kita, tugas menulis kita belumlah selesai. Jangan _terburu_ publikasi ke media cetak atau medsos. Itu sembrono. Ada satu langkah penting lagi dalam proses menulis, yakni menyunting (editing) draf atau naskah tulisan kita. Nah, apa yang perlu kita lakukan dalam menyunting naskah?

Kita harus baca ulang draf kita, mungkin tidak hanya cukup sekali, bisa dua atau tiga kali. Dalam hal ini kita harus berdiri sebagai pembaca, dan karena itu harus objektif memberikan penilaian. Intinya, proses membaca naskah sendiri ini untuk menemukan kekurangan atau kelebihan dari draf kita--baik menyangkut ide, pengorganisasian, maupun penggunaan bahasa.

Secara umum kita bisa bisa menambahkan variasi, penekanan, koherensi, transisi, dan detail (rincian). Kita juga bisa mengurangi kalimat bertele-tele (mubasir), irelevansi, dan inkonsistensi. Bagaimana praktiknya?
Terkait dengan penyuntingan ide, jika kekurangan keluasan dan kedalaman, kita harus menyisipkan atau menambahkan ide ke dalamnya. Misalnya, kita belum memasukkan contoh, kasus, kutipan, anekdot, dan sebagainya; karena itu, kita harus segera melunasi semua kekurangan itu.

Sementara itu, jika naskah kita kelebihan ide, misalnya terlalu rinci, atau terlalu banyak contoh kasus, kita harus segera menyeleksi mana yang paling relevan dengan topik bahasan. Selain itu, mungkin contoh-contoh yang kita ajukan tidak relevan; dan karena itulah, mereka harus diganti contoh yang baru dan relevan.

Pengorganisasian ide tidak kalah pentingnya. Kita cermati bagian-bagian tulisan, apakah sudah ada pembuka (lead) yang memikat, penjelasan atau uraian yang proporsial, dan penutup yang mengesankan atau mengejutkan? Mungkin ketiga bagian ini tak berlaku kaku untuk puisi. Namun, hakikatnya, sebagaimana siklus hidup, tulisan seharusnya mengandung ketiga bagian itu.

Selain itu, sudah runtutkah ide-ide yang kita tuangkan di dalam naskah kita? Apakah klasifikasi ide telah tercermin di dalam tulisan? Apakah sudah ada kepaduan dari keseluruhan ide? Apalagi yang masih perlu ditambahkan atau dikurangi? Pertanyaan semacam ini perlu dikemukakan saat mencermati pengorganisasian tulisan.

Menyunting juga perlu membenahi penggunaan bahasa yang kita gunakan di dalam draf kita. Pertama hubungan subjek-predikat, kemudian pemilihan kata (diksi), dan penggunaan konteks yang tepat. Tentu saja, kita harus selalu berusaha untuk menggunakan kalimat-kalimat efektif, bukan hanya untuk melancarkan penyampaian maksud, melainkan juga untuk menunjukkan kecintaan kita berbahasa Indonesia: benar sesuai kaidahnya, baik sesuai konteksnya.
Lebih lanjut, proses penyuntingan juga diarahkan untuk membenahi ejaan, tanda baca, dan mekanika (tata tulis) tulisan. Nama orang, instansi, organisasi, kota, dan sebagainya harus dimulai dengan huruf kapital. Ada aturan-aturan main yang harus ditaati bersama, agar tertib berbahasa bisa diwujudkan. Ketelitian penulis bisa dilacak dari sisi ini.

Singkatnya, revisi dan menyunting dimaksudkan untuk memoles, mengasah, melengkapi, menyempurnakan naskah, baik isi (content) maupun struktur pengembangan. Tak terlewatkan adalah membenahi mekanika (tata tulis), tata bahasa, diksi, ejaan hingga akurasi karya pun akan tampak meyakinkan.

Dengan demikian, menyunting itu bukan pekerjaan mudah. Kita perlu membekali diri dengan pengetahuan kebahasaan intralinguistik dan ekstra linguistik, agar hasil suntingan kita memenuhi standar penyuntingan. Yang terpenting lagi, melakukan penyuntingan! Sebagai penulis, kita perlu (belajar) menjadi penyunting.
Setelah mencoret-coret, memotong, menambah, atau melengkapi draf kita, maka tibalah saatnya kita menyempurnakan draf itu.

Penyempurnaan draf dilakukan, bisa ditambah dengan membaca-ulang, guna memperoleh draf final yang siap diserahkan atau dikirimkan kepada pembaca lain.

Dalam mengerjakan penyuntingan, sangat boleh jadi bahwa kita akan mendapati perbedaan-perbedaan antara draf awal dan draf final, entah isi maupun organisasi dan bahasanya. Jangan panik; itu wajar. Maksudnya, saat kita menyunting, kita bisa berpikir lebih baik dibanding saat menulis draf awal, dan karena itu, kita berpeluang membenahinya.

Saya pernah membaca sebuah buku bagus berjudul _In Transitions_ (1990) yang memuat draf-draf awal penulis hebat dunia. Draf-draf itu masih penuh coretan, koreksi, dan sisipan--baik bentuk (struktur generik) maupun isi (ide, gagasan). Ada proses penyuntingan serius di sana. 
Ketika saya bandingkan draf yang ada di dalam buku _In Transitions_ dengan draf final di buku lain (buku referensi mengajar), terdapat perbedaan yang signifikan. Itulah bukti bahwa para penulis telah merevisi (menyunting) bentuk dan isi karya mereka. Artinya, para penulis kelas dunia pun juga menempuh pembelajaran untuk memperbaiki karya mereka.

Jadi, begitulah, bagi penulis, menyunting itu bagian tak terpisahkan dari pembuatan draf (drafting). Menyunting juga tugas penulis. Jika ada penulis enggan melakukannya, itu semata akibat kepercayaan diri yang terlalu besar akan kelayakan karya yang telah dihasilkannya; atau karena dia memiliki tim penyunting sendiri. Padahal, soal kualitas tulisan bukanlah kita sendiri yang menilainya, melainkan masyarakat pembaca.
*Much. Khoiri 'hanyalah' penggerak literasi, trainer, editor, dan penulis 34 buku dari Unesa Surabaya. Artikel ini pendapat pribadi.

Kapan waktu yang tepat kita mengedit tulisan kita? Bergantung urgensinya; tapi ada jeda waktu antara menulis dan mengedit, sehingga ada jarak emosional agar objektif melihat tulisan sendiri.

Jika tulisan segera digunakan, ya setelah istirahat sejenak, kita bisa langsung bisa edit tulisan sendiri. Tapi jika tidak buru-buru, ya tunggu beberapa saat.
Menjadi penulis, harus siap menjadi editor. Itu prinsip beliau, setidaknya menjadi editor utk tulisan diri sendiri.

Menjadi editor dimulai sejak beliau belajar menulis tahun 1986. Untuk karya orang lain, beliau menjadi editor sejak tahun 2010-an.

Yang paling penting dalam mengedit
adalah konten, pengorganisasian, dan bahasa. Yang paling duluan adalah konten.
Wewenang editor hanya sampai pada "membantu penulis menyampaikan maksud". Parafrase baik, mengubah kalimat yang tidak teratur menjadi efektif. Karena itu, editor kadang perlu menghubungi penulis untuk mengklarifikasi apa maksudnya. Dengan begitu, akan ketahuan mana yang bolong atau kelebihan, mana pula bahasa yang komunikatif atau tidak. Kalau konten sudah direview dan tidak ada masalah, tugas editor lebih sederhana, yakni mengurusi bahasanya saja.

Kepada peserta workshop beliau menjelaskan pula hal yang perlu dilakukan untuk mengedit cerita anak, editor perlu memasuki dunia anak karena memerlukan pendekatan tersendiri. Termasuk pilihan bahasa yang bisa dipahami. Seringlah kita observasi bahasa anak.

Kemampuan mengedit akan terasah selama kita mengedit kasus-kasus di dalamnya. Kita akan tahu bagaimana membantu logika penulis, termasuk bagaimana menata gagasan. Ada hubungan erat antara logika (pikiran) dan bahasa. Jika logika kurang tertib, bahasanya juga kurang tertib. Tampak sekali dari kalimat-kalimat yang dibuat, apakah jelas mana Subjek, Predikat, dst. Kalimat tidak perlu lengkap, yang penting jelas Subjek-Predikatnya.

Kalimat panjang, jika jelas subjek-predikatnya sih tdk apa. Dua baris-lah. Tapi kalau tidak jelas subjek-predikatnya, yang terdiri atas klausa-klausa membingungkan, ada baiknya dipotong jadi kalimat yang lebih sederhana. "Terakhir ini saya mengedit buku yang kalimatnya panjang-panjang menghabiskan napas. Satu paragraf satu kalimat run-on. Maka, ya hrs disederhanakan menjadi 3-4 kalimat."
Sebelum mengedit tulisan penulis pemula, sedapatnya editor mengontak penulis, untuk meminta izin dilakukan editing secukupnya. Lalu,  mengatakan kepada penulis untuk membandingkan teks aslinya dan hasil editing (ini terutama saat cek dummy). Untuk berkomunikasi dengan editor, kita sadari saja, andaikata kita di posisi mereka, apa yang kita harapkan dari editor, yaitu perlakuan yang manusiawi, bersahabat, didampingi.

"Saya punya dua lapis editor, lapis "halus" dan "kasar" (raw). Lapis "kasar" itu yg bekerja awal, dengan rambu-rambu yang sudah saya tetapkan. Dari mereka saya dan asisten inti saya lakukan editing halusnya. Beruntung saya jika saya ketemu partner editor yang mampu melakukan kasar dan halus.

Dengan semangat literasi, kita perlu membantu penulis pemula untuk berkembang. Kita editkan naskahnya, kita minta mereka belajar dari hasil editan kita (bandingkan dengan teks aslinya), kita minta mereka beri kesan-kesan. "Saya punya tim dengan jumlah lumayan. Tinggal jawil saja."

Sebenarnya, ada syarat mendasar utk jadi editor. Selain punya wawasan yang cukup luas, editor HARUS memiliki kemampuan kebahasaan yg mumpuni. Jika kenceng-kenengan, jadi editor harus memenuhi SKOR mahir ke atas dalam UKBI (Uji Kemahiran Bahasa Indonesia). Menjadi sulit, agaknya, ketika syarat tersebut kurang terpenuhi. Agar berangsur-angsur terasa enteng, ya harus meningkatkan kemampuan kebahasaan diri, plus meluaskan wawasan. Kita bantu menertibkan sumber referensinya atau kita tawarkan agar penulis agar menulis ulang jika hanya terdiri dari copas-copas.


Resep bersabar dalam mengedit ala Pak Khoiri adalah mendasari diri dengan ungkapan, "Apa yang kauberikan adalah apa yang bakal kauterima."

Pengalaman yang membanggakan beliau adalah saat mengedit bukunya sendiri yang berjudul SOS (Sapa Ora Sibuk): Menulis dalam Kesibukan. Mengapa? Ini pernuh perjuangan habis-habisan dan hasilnya pun luar biasa. Beliau membuat draf (membuat draf) buku dalam 8 malam (karena siangnya bekerja), lalu beliau mengedit dan revisinya dalam sehari, dan di ujung malam kesembilan (alias dini hari ke-10) beliau sudah mengirimkannya ke penerbit.
Buku itu pun sukses dalam penjualannya.

Untuk naskah yang keluar dari tema beliau tawarkan kepada penulis untuk memperbaikinya atau ditinggal jika tidak mau, misalnya tidak menyertakannya dalam penulisan antologi. Kita dekati secara khusus orang yang demikian.

Wah, mata saya mulai mengantuk. Saya sudahi dulu ya sampai di sini. Semoga bermanfaat. Semoga peserta workshop lainnya bisa memahami ya, bahwa pekerjaan editor itu memang sungguh-sungguh bukanlah perkara mudah. Butuh ketelitian paripurna, lihat saja kacamatanya yang kian tebal. Hehe, ampun, Pak Khoiri. Karena saya juga guru bahasa Indonesia yang tugasnya tidak jauh dari mengoreksi tulisan murid-murid, setidaknya saya seperdelapannya atau sepersepuluhnyalah mengerjakan kegiatan edit-mengedit kalimat yang rumit.

Terakhir, Pak Khoiri berharap peserta workshop dapat bertindak sebagai editor, di samping sebagai penulis. Untuk berlatih menjadi editor yang baik, kita mulai dengan mengedit karya sendiri, dengan fokus kualitas gagasan/konten, pengorganisasian, dan penggunaan bahasa.

"Apal kaji karena diulang, apal jalan karena ditempuh."

Semoga sukses. Salam literasi.


2 komentar: